M.K.S.A (Mager Kepanjangan, Singkat Aja)
Intinya… Tagar #AllEyesOnPapua saat ini ramai di media sosial. Ini adalah bentuk dukungan untuk suku Awyu dan Moi yang sedang berjuang menyelamatkan hutan adat mereka lewat kasasi di Mahkamah Agung, Jakarta. Perjuangan nyata masyarakat dibuktikan dengan datang dari Papua ke Jakarta dan melakukan aksi damai di depan gedung MA pada Senin (27/5). Saat ini, kasasi adalah harapan masyarakat yang tersisa.
Intinya… Tagar #AllEyesOnPapua saat ini ramai di media sosial. Ini adalah bentuk dukungan untuk suku Awyu dan Moi yang sedang berjuang menyelamatkan hutan adat mereka lewat kasasi di Mahkamah Agung, Jakarta. Perjuangan nyata masyarakat dibuktikan dengan datang dari Papua ke Jakarta dan melakukan aksi damai di depan gedung MA pada Senin (27/5). Saat ini, kasasi adalah harapan masyarakat yang tersisa.
Suku Awyu dan Moi yang berasal dari Papua, mengadakan aksi damai di depan Mahkamah Agung pada Senin (27/5). Aksi ini merupakan bentuk protes dan harapan agar Mahkamah Agung dapat memutus perkara lahan seluas 36.094 hektare-yang dikatakan lebih dari setengah luas DKI Jakarta ini dengan seadil-adilnya. Aksi ini disertai dengan doa, tari-tarian, dan juga penyampaian keluh kesah masyarakat tepat di depan gedung MA.
Suku Awyu yang berasal dari Papua Selatan menggugat pemerintah Provinsi Papua atas persetujuan memberikan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Akibat dikantonginya izin ini, sebagian besar hutan adat suku Awyu terancam diambil perusahaan. Kekhawatiran lainnya adalah bila hutan adat tersebut dibabat habis, sehingga masyarakat akan sulit memenuhi kebutuhannya yang selama ini didapatkan dari hutan adat. Kasasi juga diajukan atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, yang rencananya akan melakukan ekspansi ke Boven Digoel untuk membuka perkebunan kelapa sawit setelah menang di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta melawan gugatan dari suku Awyu. Adapun suku Moi yang berasal dari Papua Barat Daya melawan PT Sorong Agro Sawitindo, atas tanah seluas 18.160 hektare yang akan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
Awal dari perjuangan masyarakat adat suku Awyu bermula dari dikantonginya izin atas luas tanah yang telah disebutkan oleh PT IAL. Khawatir akan tanahnya dirusak, Hendrikus 'Franky' Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu kemudian menggugat Pemprov Papua dan PT IAL di pengadilan. Hendrikus mengaku bahwa tidak pernah ada informasi tentang aktivitas perusahaan dan masyarakat tidak dilibatkan sama sekali oleh perusahaan dalam hal keamanan lingkungan, padahal itu adalah tanah mereka. Alat bukti dan saksi yang dibawa juga menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin yang dikantongi PT IAL. Naas, Hendrikus harus menerima tertolaknya gugatan di pengadilan pertama dan kedua. Namun, masyarakat tidak menyerah. Hendrikus bersama masyarakat adat suku Awyu kemudian naik ke tingkat kasasi untuk memperjuangkan hak atas hutan adat mereka. Saat ini, masyarakat berharap besar kepada MA untuk memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
Suku Moi di sisi lain melawan PT Sorong Agro Sawitindo dan perjuangan sudah bergulir sejak 2021. Tahun 2021, bupati Sorong sudah mencabut izin lokasi dari PT SAS, namun perusahaan menggugat dan keputusan tersebut dibatalkan. Kemudian pada tahun 2022 pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan SAS dan juga surat izin usaha. Namun, perusahaan kembali menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta. Tak terima, masyarakat adat suku Moi melawan, sekaligus mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Namun, kabar buruk harus diterima masyarakat adat suku Moi karena hakim menolak gugatan sehingga masyarakat melanjutkan perjuangan dengan kasasi ke MA pada Mei, 2024.
Hutan adat adalah tempat berlindungnya sebagian besar hewan dan tumbuhan yang hanya ditemukan di Papua dan tidak ada di daerah lain di Indonesia. Hutan adat juga dijadikan masyarakat untuk mata pencaharian, pemenuhan kebutuhan, tempat berlindung, dan sebagai 'rumah' bagi mereka. Adanya hutan adat ini dapat menghalangi terlepasnya 25 juta ton gas CO2 ke atmosfer, sehingga kerusakan iklim tidak terjadi. Bila hutan adat dibabat, maka 25 juta ton gas CO2 terlepas dan memperparah kerusakan iklim di Indonesia.
"Ini tanah asli yang saya bawa dari Papua. Saya tidak pernah merampas dan mencuri tanah orang lain. Kami datang meminta tolong pada Mahkamah Agung, tolong lihat ini benar atau salah. Akan ada intervensi pihak luar yang mengatakan ini gerakan Papua merdeka. Padahal kami tidak membahas itu, ini berbeda. Ini pelanggaran HAM, kami korban pelanggaran HAM.” Kata Hendrikus 'Franky' Woro, di depan Mahkamah Agung dengan membawa tanah asli dari Boven Digoel ke Jakarta sebagai bukti perjuangan masyarakat yang masih ada sampai saat ini untuk hutan mereka.
Dukungan masyarakat Indonesia terhadap suku Awyu dan Moi saat ini gencar dilakukan, dengan menggunakan tagar #AllEyesOnPapua sebagai bentuk pembelaan dan protes pada pemerintah. Beberapa kalangan artis dan seniman Indonesia pun turut meramaikan dan mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi lewat tagar tersebut di media sosial. Tagar ini disertai dengan ajakan pada publik untuk menandatangani petisi untuk menyelamatkan hutan adat yang luasnya lebih dari separuh DKI Jakarta ini, melalui change.org.