79 Tahun Merdeka, Bagaimana Kemerdekaan Dokter Residen dari Plonco?

CodeBlue

PukulEnam Newsletter

Bergabunglah bersama ribuan subscriber lainnya dan nikmati berita terhangat yang up-to-date setiap paginya melalui inbox emailmu, gratis!



M.K.S.A (Mager Kepanjangan, Singkat Aja)
Intinya… Tantangan dalam pendidikan profesi dokter tidak hanya datang dari beratnya materi akademik, juga dari waktu yang panjang hingga tekanan kerja yang tinggi, termasuk isu perundungan yang menyebabkan tingginya angka depresi dan beberapa kasus bunuh diri di kalangan dokter residen. Pemerintah berupaya memperbaiki sistem pendidikan ini agar lebih aman dan profesional.
 
Profesi seorang dokter adalah profesi yang mulia. Menjadi dokter masih menjadi dambaan semua orang di Indonesia, bahkan hingga saat ini. Meskipun begitu, perjalanan menjadi seorang dokter tidaklah mudah. Mereka yang menjadi dokter perlu menempuh kuliah selama 3,5-4 tahun untuk lulus S1 (Strata 1) dengan gelar S.Ked atau Sarjana Kedokteran. Gelar dokter pada titik ini belum didapatkan, karena harus melanjutkan koas (Co-Assitant) selama 2 tahun dan mengikuti ujian kompetensi atau UKMPPD (Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter). Lalu ketika lulus UKMPPD, barulah seseorang bisa dilantik menjadi seorang dokter umum. Total perhitungan lamanya pendidikan untuk menjadi seorang dokter umum memakan waktu sekitar 6 tahun dan agar bisa berpraktik membutuhkan waktu 7 tahun (ditambah 1 tahun program intership). Bila seorang dokter umum berminat menjadi spesialis, maka pendidikan kembali ditempuh selama 4-6 tahun (tergantung bidang spesialisasi yang dipilih). Tidak mudah, namun peminatnya masih sangat banyak sampai saat ini.
 
Pendidikan dokter spesialis adalah tingkatan selanjutnya yang banyak diminati oleh para dokter umum agar bisa melanjutkan pendidikan yang lebih spesifik lagi. Para spesialis diberi pendidikan yang lebih mengerucut berdasarkan bidangnya dan menempuh 4-6 tahun pendidikan tergantung bidang yang diambil. Kenyataannya meskipun peminat pendidikan dokter spesialis ini banyak, laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada April 2024 menunjukkan bahwa angka dokter spesialis di Indonesia masih sangat kurang dan persebarannnya pun tidak maksimal. Rasionya adalah 0,47 per 1000 penduduk dan menempati angkata 147 di dunia.
 
Alasan di balik sedikitnya dokter spesialis ini adalah karena pendidikannya yang membutuhkan waktu lebih lama, biaya yang sangat mahal, dan banyak faktor lainnya yang memberatkan untuk menjadi seorang dokter spesialis. Sampai saat ini, beberapa wilayah Indonesia yang terpencil belum memiliki dokter spesialis karena sebanyak 59% dari total semua dokter spesialis masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Kesulitan lain yang saat ini banyak dibahas dan sedang viral di masyarakat adalah isu ‘tradisi’ perundungan atau bullying kepada dokter residen. Berdasarkan skrining yang dilakukan Kemenkes pada April 2024, sebesar 22,4% peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS, biasa disebut dengan residen) terdeteksi mengalami gejala depresi. Bahkan, sebanyak 3,3% dari total angka tersebut ingin mengakhiri hidup atau melukai diri sendiri. Selain itu, berdasarkan studi cross-sectional oleh Nair et al. tahun 2021 di Malaysia juga ditemukan bahwa bidang keahlian dengan angka depresi tertinggi adalah bagian Bedah dan Anestesiologi. 
 
Kejadian dugaan bunuh diri residen akibat isu perundungan beberapa hari lalu sempat mencuat lagi ke publik. Hal ini terjadi setelah seorang peserta PPDS diduga bunuh diri karena tak kuat dengan perundungan yang terjadi di bagiannya, yaitu Anestesiologi Universitas Diponegoro (UNDIP). Kasus ini masih didalami oleh Kemenkes dan dilakukan penyelidikan sampai saat ini. Pihak UNDIP sendiri telah mengeluarkan pernyataan resmi melalui bagian Hubungan Masyarakat (Humas) UNDIP pada Kamis (15/8). Berdasarkan keterangan yang diberikan, pihak UNDIP membantah penyebab meninggalnya residen Anestesi mereka akibat bunuh diri. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin akhirnya memutuskan untuk memberhentikan sementara Program Pendidikan Anestesi di UNDIP agar bisa dilakukan penyelidikan dengan maksimal. Hingga berita ini ditulis, proses tersebut masih berjalan. Kemenkes dalam laporannya pada Senin (19/8) lewat Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, Azhar Jaya mengatakan bahwa Kemenkes menerima total 1.500 laporan adanya perundungan di lingkup Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Hasilnya 30% bisa diusut karena setelah dilakukan pendalaman kasus, sebanyak 70% sisanya bukan merupakan kasus perundungan. 
 
Laporan-laporan lain yang dikumpulkan berdasarkan riset Tim PukulEnam di sosial media, didapatkan bahwa adanya indikasi perundungan ini sudah lama beredar dan dijalankan di kalangan residen. Sebuah potret buku berjudul “Unthulektomi” yang diambil dari akun @txtdarijasputih dalam X memberikan gambaran mengenai adat dan kebiasaan, list to do, dan deskripsi kerja sehari-hari para junior bagian Anestesi yang diduga berasal dari UNDIP. Beberapa contohnya adalah memiliki nomor yang harus aktif 24 jam dan siap menerima tugas “ekstra” dari seniornya. Selain itu, ditemukan pula adanya grup di aplikasi Whatsapp terduga istri-istri para residen di UNDIP. Salah satu isi obrolan yang ada dalam tangkapan layar yang dibagikan oleh akun @ppdsgramm di Instagram adalah bahwa kata "tidak" adalah sesuatu yang haram diucapkan, dan bahwa bila para istri residen junior tidak melakukan tugas dengan baik bisa berimbas pada suaminya.
 
Kabar perundungan lainnya juga datang dari PPDS Bedah Saraf Universitas Padjajaran. Ditemukan adanya 7 pelaku perundungan yang mendapatkan perpanjangan masa studi, 2 orang residen diberhentikan, dan 1 dosen yang terlibat sedang diproses sanksi. Ketua program studi Bedah Saraf juga sudah diberikan surat peringatan terkait kasus ini. Perundungan dari senior kepada junior tampak sudah mendarahdaging di kalangan pendidikan dokter Indonesia. Kemenkes bahkan membuat laman perundungan.kemenkes.go.id sebagai tempat dimana para korban bisa melaporkan perundungan. Menteri Kesehatan pun sudah mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/MENKES/1512/2023 Tentang "Pencegahan dan Penanganan Perundungan Terhadap Peserta Didik Pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan". Hal ini diharapkan bisa membantu para korban perundungan mencari perlindungan dan lingkaran setan perundungan ini bisa diputuskan. 
 
Dampak perundungan terhadap kesehatan mental korban adalah adanya gangguan cemas, depresi, hingga tekanan yang bisa saja menyebabkan keinginan untuk bunuh diri seperti yang terjadi di lapangan. Apapun alasan di balik semua perundungan dan kondisinya, perundungan tetap merupakan hal yang tidak dibenarkan. Indonesia sudah 79 tahun menikmati kemerdekaan, dan perundungan bukan cermin kemerdekaan bangsa. Tindakan ini sudah seharusnya ditiadakan, terutama dalam institusi pendidikan dan dalam kasus ini, profesi yang mulia seperti seorang dokter. Perlu diingat kembali, bagian dari lafal sumpah dokter yang digaungkan bersama saat resmi menjadi seorang dokter: "…Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai saudara kandung." 

Ditulis oleh

Bagikan Artikel

Facebook
X
WhatsApp
LinkedIn
Email
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kamu mungkin juga suka...