M.K.S.A (Mager Kepanjangan, Singkat Aja)
Intinya… RUU Perampasan Aset belum dibahas serius meski penting untuk menyita aset hasil kejahatan tanpa putusan pidana. Dukungan publik kuat, tapi terhambat kepentingan politik. Keberhasilan RUU ini tergantung komitmen elite dan kontrol hukum yang ketat.
Intinya… RUU Perampasan Aset belum dibahas serius meski penting untuk menyita aset hasil kejahatan tanpa putusan pidana. Dukungan publik kuat, tapi terhambat kepentingan politik. Keberhasilan RUU ini tergantung komitmen elite dan kontrol hukum yang ketat.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi sorotan publik setelah bertahun-tahun tertunda pembahasannya. RUU ini dirancang untuk memungkinkan negara menyita aset yang diduga berasal dari kejahatan, termasuk korupsi, tanpa harus menunggu putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture). Meski telah dibahas sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sempat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023, RUU ini hingga kini belum juga disahkan.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa pembahasan RUU ini membutuhkan konsolidasi dengan partai politik dan fraksi di DPR. " Butuh waktu yang cukup untuk kami mengkonsolidasi semua kekuatan partai politik," ujarnya. Pemerintah mengklaim memiliki komitmen untuk membahas RUU ini, termasuk koordinasi dengan KPK, Kejaksaan Agung, dan PPATK. Namun, hingga Mei 2025, RUU ini hanya masuk dalam daftar Prolegnas jangka panjang 2025-2029.
Dukungan terhadap RUU ini datang dari berbagai pihak yang melihatnya sebagai solusi untuk memutus motif ekonomi korupsi dan mengembalikan kerugian negara tanpa proses pidana yang panjang. Namun, ada juga kekhawatiran mengenai pelanggaran prinsip presumption of innocence dan potensi penyalahgunaan sebagai alat kekuasaan. Desakan publik pun semakin kuat, dengan RUU ini menjadi salah satu tuntutan dalam aksi unjuk rasa 'Indonesia Gelap' waktu lalu.
Dari analisis TALAS, RUU Perampasan Aset dinilai sebagai terobosan hukum yang progresif. Konsep non-conviction based asset forfeiture telah sukses di banyak negara dan dapat mempercepat pemulihan aset negara. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kemauan politik elite. Di sisi lain, tantangan muncul dari perspektif konservatif yang menekankan perlindungan hak individu dan perlunya sinkronisasi dengan KUHAP.
Proses pembahasan yang lambat mengindikasikan adanya resistensi dari kalangan politik, mungkin karena kepentingan tertentu. Pertanyaan "Siapa yang takut dengan RUU ini?" mengarah pada dugaan bahwa koruptor dan elite yang memiliki aset tidak jelas menjadi pihak paling terancam.
RUU Perampasan Aset memiliki potensi besar untuk memberantas korupsi secara efektif, tetapi implementasinya membutuhkan komitmen politik yang kuat dan mekanisme kontrol yang jelas. Tanpa dukungan nyata dari pemerintah dan DPR, RUU ini berisiko tetap menjadi wacana tanpa realisasi. Masyarakat dan lembaga antikorupsi terus mendorong agar RUU ini segera dibahas dan disahkan sebagai bukti keseriusan negara dalam memerangi korupsi.